Guru, ditiru dan digugu, Guru bukan buruh


Guru itu kasta, menurut sebagian orang. Merasa tahu segalanya. Bahkan, Guru merasa tidak boleh salah. Guru selalu memposisikan murid sebagai orang yang belajar, orang yang tidak tahu. Guru di atas, murid di bawah. Begitulah guru dalam praktik keseharian.
Hari ini Guru berulang tahun. Tapi maaf, tidak ada ucapan selamat untuk guru. Karena guru belum mau belajar, guru belum mampu jadi teladan. Guru masih arogan, bahkan terlalu tinggi tempatnya dalam persepsi kebanyakan orang. Kita sering lupa, jika guru juga manusia. Guru juga bisa salah. Lalu, siapa yang bilang guru tidak boleh salah ?
Di dalam kelas, guru mengajar. Guru menjadi pemegang otoritas kebenaran. Murid makin sulit untuk menunjukkan kebenaran lain di mata guru. Tidak sedikit Guru yang kurang menerima perdebatan dengan murid. Kalau ilmu dan pengetahuan bersifat dinamis, mengapa guru berpikir dan bertindak statis? Simaklha kisah ini:
Pernah suatu kali murid bertanya di kelas, Bu Guru, apakah dingin itu ada?. Bu Guru meremehkan pertanyaan muridnya. Kok, pertanyaan kayak gitu. Ya, tentu dong dingin itu ada. Memangnya kamu tinggal di mana ? jawab Bu Guru. Murid sedikit terdiam. Ia berpikir dan menjawab. Maaf Bu Guru, menurut saya, dingin itu tidak ada. Kita sering menganggap dingin karena tidak adanya panas. Saat tidak ada panas sama sekali, maka semua partikel diam. Kita menciptakan kata dingin sebenarnya untuk mendeskripsikan ketidakadaan panas.
Suasana kelas makin serius. Murid pun bertanya lagi. Bu Guru, bagaimana dengan gelap. Apakah gelap itu ada?. Bu Guru dengan singkat menjawab, Ya, tentu saja gelap itu ada di sekitar kita. Murid pun kembali menjelaskan, Maaf Bu Guru, sungguh gelap itu juga tidak ada. Bukankah gelap adalah keadaan di mana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari. Gelap tidak. Kita bisa mengukur cahaya, tapi kita tidak bisa mengukur gelap. Gelapnya suatu ruangan itu diukur oleh intensitas cahaya di ruang itu. Kita memakai kata gelap hanya untuk mendeskripsikan ketidakadaan cahaya.
Guru mulai tidak menerima jawaban muridnya. Dalam hatinya, membenarkan. Tapi keadaan membuat Sang Guru sulit untuk menerima. Sungguh, realitas yang tidak mudah di era sekarang. Murid itu bertanya lagi, Bu Guru,apakah kejahatan itu ada?. Bu Guru mulai ragu untuk menjawabnya. Namun, apa boleh buat. Tentu kejahatan itu ada. Kita setiap hari membaca berita kriminal di koran. Di TV, sering kita lihat terjadi bentrok atau kekerasan. Itulah bukti adanya kejahatan di sekitar kita. Murid pun kembali memberi argumen, Maaf Bu Guru, seperti dingin atau gelap, tadi, kejahatan juga tidak ada. Kata jahat sering kita pakai untuk mendeskripsikan ketidakadaan kasih sayang Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kejahatan. Kejahatan adalah hasil dari tidak adanya Tuhan dalam diri kita. Seperti dingin yang timbul karena tidak adanya panas dan gelap yang timbul karena tidak ada cahaya.
Bu Guru makin terdiam. Merenung sambil berpikir. Adalah nyata, Guru bisa salah dan murid bisa benar. Hormat pada Guru adalah keharusan, tapi hormat pada kebenaran lebih dari keharusan. Ini soal moral. Hanya saja, tidak semua Guru dapat menerima realitas murid yang lebih tahu dari gurunya. Karena itu, pesan untuk Guru di hari berbahagioa mereka:
1.Teruslah belajar, jangan pernah merasa tinggi ilmunya.
2.Tetaplah membumi dalam mengajar, jangan menerawang.
3.Tekunlah membaca dan menulis, jangan hanya berbicara dari yang didengar.
4.Tuangkanlah ilmu ke hati murid yang seluas lautan, jangan sesempit gelas.
5.Tetaplah istiqomah dalam belajar dan mengajar.
Guru akan digugu dan ditiru bila murid-murid di dalam kelas menjadi lebih penting daripada pelajaran itu sendiri. Karena dengan belajar, guru akan mengajar. Guru bukan sebuah kelas sosial, tapi moral. Jadi, GURU itu BUKAN KASTA … Salam Guru !!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN KUISIONER YANG BAIK